Kamis, 07 Agustus 2014

Jarak Memisahkan Kita

Hampir lima bulan rupanya kita jarang bertemu. Bukan karena permasalahan rumit yang terjadi, melainkan jarak menghalangi pertemuan kita. Butuh waktu lama untuk menempuh perjalanan dari Bogor ke Jogja. Kaupasti tahu sangat sedikit waktu luangku, bahkan hampir tak ada waktu luangpun untukku bersenang-senang melihat gemerlap mewahnya Kota Jogja. Memang sudah menjadi rutinitasku sebagai pelajar. Bahkan dalam kesibukanku, aku selalu memberi kabar dan sempat menanyakan keadaanmu disana. Kita masih seperti dulu. Bahkan kaumasih mengingatkan sholatku, makanku, dan menyemangatiku. Semua terlihat sama. Hanya aku tak sanggup menahan sakitnya rindu yang semakin membengkak. Sakitnya suatu hubungan yang terhalang sebuah jarak. Dalam doaku, aku selalu memelukmu dari kejauhan. Mendekap bayangmu dari kota tinggalku sekarang; Jogja.

Sore ini aku berada di kamar tidurku. Berbaring di kasur; sedikit melepas rasa lelah hari ini. Langit cerah berubah gelap. Langit senja yang seharusnya jingga menjadi kelabu yang tampak dari sudut jendela kamarku. Perlahan awan-awan mendung menitikan gerimis. Rintikan bunyi hujan menetes ke genting-genting rumah sekitar. Desah hembusan angin yang memasuki celah-celah di jendela menambah kesejukan Sore ini, justru memperburuk suasana hati. Hari demi hari rupanya aku semakin menjerit melawan rindu yang menggebu. 

Tuan berkulit sawo matang, berpostur tubuh tinggi-kurus, dengan senyum khasnya seperti lengkungan bulan sabit, penggemar kopi hitam, sekaligus pecinta alam. Aku masih menunggumu menjemputku pulang ke tempat kita menyimpan kenangan manis. Solo; Kota dimana tempat pertama kali kita bertemu. Tetapi aku tak memaksamu untuk membawaku pulang kembali bersamamu. Jika akulah jalan pulangmu. Semoga kautak mengingkari janjimu. Dua tahun, lima bulan lagi. Semoga jarak bukan alasan kita untuk berpisah.

Jumat, 28 Februari 2014

Kerinduan Untukmu


Malam ini aku masih sempat meluangkan waktu untuk menengok kehidupanku yang dulu. Sekedar mengingat; penuh kasih sayang, kebahagiaan, liku-liku, hingga kesedihan. Sedari dulu aku sudah mengemasi hatiku, pergi, dan meninggalkan kenangan kita di kotamu. Perpisahan ini teramat menyakitkan.

Aku kembali ke kotaku. Membuka lembaran baru, kertas kosong yang masih belum tercoret tinta cerita kehidupanku. Aku masih merasakan kesedihan disini. Aktivitas sehari-hari ku hanya memperhatikanmu dari tulisan bisumu dari status sudut dunia maya yang tak tersentuh. Bahagia jika kamu belum mendapat sosok penggantiku, sedih ketika ternyata aku sudah digantikan orang lain yang jauh lebih baik dariku. Setelah perpisahan memang kita tak berkomunikasi. Aku pun tak berani lebih dulu menyapamu.

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Kini dua bulan sudah aku menikmati kesendirianku; proses melupakanmu. Malam sebelum tidur, aku kembali memantau aktivitasmu dari status facebook, twitter, atau aplikasi sosial media yang lain. Aku terkejut. Satu pesan belum kubaca dan ternyata darimu, orang yang sedang akan ku lupakan. "Kamu lagi, kamu lagi. Datang disaat aku proses melupakanmu. Mau kamu apa sih?!" gerutuku dalam hati. Kesal tapi bahagia. "Seperti kupu-kupu berkeliaran membantu penyerbukan bunga dan bunga itu bemekaran di hatiku" aku terkekeh. Kamu masih sempat menanyakan bagaimana kabarku. Aku harap tidak hanya sekedar menanyakan kabar. 

Aku rindu kamu, rindu kita. Dua bulan sudah peristiwa itu berlalu, kini kaulanjutkan hidupmu dengan wanita pilihanmu,sedangkan disini aku masih  menantimu. Setidaknya, kaupernah memasuki kehidupanku, mengisi hariku, pernah mengajariku banyak hal. Bawa aku ke kotamu, mas. Kita rajut kembali hubungan kita yang sudah  merenggang ini. Tapi mustahil Kita punya rencana yang berbeda. Kita juga menempuh jalan masing-masing. Mustahil untuk menyatukan kita yang begitu berbeda. Apapun tentangmu kuketahui secara detail, dan semua tentangmu tak pernah kecil di mataku.  

Sampai detik ini,
aku masih mengingatmu.

Sabtu, 22 Februari 2014

Dulu, Sekarang; berbeda.

Aku masih merasakannya. Degub jantungnya mengalun elok tatkala aku dihadapannya. Aku masih seperti dulu, berdiri kuat disini. Mematung sendiri. Menunggu ombak datang, entah kapan menyeretku dalam arus deras. Seakan aku pasrah dengan semua ini; sedih tak berujung. Biarkan aku tetap menjadi orang setiamu. Memperhatikanmu dari jauh, menyebutmu dalam doa, mencintaimu diam-diam, hingga menyimpan rindu untukmu. Aku tak berani mengutarakannya, malah semakin lama semakin menjadi-jadi. Tak terkendali. Apalagi, jika kamu dekat dengan seseorang. Hatiku seperti tercabik-cabik entah apa yang ku rasakan. Sakit. Kesakitanku justru ditertawakan beberapa orang. Ada yang beranggapan, "Dari lukamu akan ada beberapa orang tertawa diatas kesakitanmu. Tapi percayalah, ada saatnya mereka merasakan luka yang ku rasa."

Kamu berjuang mati-matian mempertahankanku, merebut hatiku, hingga kamu menjadi pemenang hatiku. Sulit mempercayainya. Kini, kamu tak lagi memperjuangkanku, memperhatikanku. Karena keadaan, tak mungkin aku mengemis perhatian yang tak lagi untukku. Merengek, demi sebuah maaf saat aku melakukan kesalahan kecil, larut dalam kesedihan ketika tak ada kabar darimu. Bodoh. Dulu memang berbeda dengan sekarang. Aku hidup di masa ini, sekarang, bukan masa dulu. Terlalu kuno untuk kembali dibicarakan. Kini kehidupanku jauh lebih menarik; dengan kekosongan hati, aku mencoba tegar. Mungkin, aku sudah terbiasa tanpa kehadiranmu sejak kamu dengannya. Biarkan aku mencari kebahagian dengan caraku, merajut cita-cita yang sudah aku impikan sedari dulu.

Dulu kenal, sekarang nggak kenal, bahkan pura-pura tidak mengenal. Biarkan aku bangkit dalam kerapuhan dengan sabar. Hati, kasihilah mereka yang mengasihiku. Mata, tatap dia yang benar-benar tulus untukku. Kebahagiaan hampiri aku; karena aku mulai terbiasa tanpanya. Jangan datang kembali, kembali mempermainkan aku dan perasaanku.

Minggu, 09 Februari 2014

Lukamu Masih Membekas

Seperti biasanya. Aku masih larut duduk terhempas ke kehidupanku dulu. Membuang waktu untuk melamunkan hal yang tak layak dilamunkan. Karena aku yang terlalu bodoh, membanggakan orang yang tak lagi memperdulikanku. Pantaskah untuk tetap ku kagumi? Jika kehadiranku adalah hal biasa, selalu menomorkesekiankanku dan menomorsatukan wanita lain, menghiraukan tangisanku, dan tak mau tau dengan perasaanku. 

Kamu yang lebih dulu meninggalkanku, menuduhku punya banyak pelarian, memutar balikan fakta bahwa aku lah yang berkhianat. Aku tak paham apa yang ada dipikiranmu. Waktu masih bersamamu, hanya kaulah yang selalu ku perjuangkan. Sering kau tuturkan kata sayang, cinta, tulus. Perempuan tentu senang diberi harapan. Nyatanya gombalan manis sesaatmu juga kau lontarkan ke perempuan lain.

Aku bangga. Tak ada sedikit kesedihanmu setelah "aku" dan "kamu" tak lagi menjadi "kita". Kamu membiarkan aku pergi, mungkinkah aku bisa begitu mudah mengikhlaskanmu semudah kamu melepaskanku? Meskipun kamu sudah berhasil menghapus aku, entah mengapa kamu malah semakin tergambar jelas, bukan terhapus. Kamu membiarkan aku pergi. Mungkin inilah yang terbaik. Setidaknya aku tidak akan lagi mengusik kehidupanmu kan?

Suatu hari nanti, yang selalu ada untukmu akan pergi, ketika kamu malah selalu ada untuk orang lain, bukan untuk dia yang mencintaimu. Layaknya kamu memperlakukanku dulu. Ada saatnya. Entah kapan cepat atau lambat.

Perempuan yang sungguh mencintaimu tidak segan-segan berkorban untukmu, meskipun itu harus melukai hatinya; aku contohnya. Aku sudah cukup lelah. Berhenti berharap bukan berarti berhenti mendoakan. Berhenti menunjukkan rasa bukan berhenti mencintai. Aku hanya tak ingin semua ini terkesan sia-sia. Membiarkan disakiti berulang kali oleh satu orang sama. Insyaallah, masih banyak orang yang memperdulikanku, kok. Tak boleh larut dalam kesedihan. Aku tak bisa, walau hanya untuk membencimu sedikit saja. Untukmu, "Jangan pernah meminta aku kembali".

Dengan atau tanpamu,
AKU tetaplah AKU 

Sabtu, 04 Mei 2013

Selamat Malam☺

Tidak ada salah satu diantara kita yang mengalah. Kita sama-sama cuek. Kedua hati ini, hati aku dan hati kamu yang sama-sama sulit untuk dimengerti. Memang, aku tak sempurna. Aku tak pintar membuat kamu membalas rasa ini. Mungkin kamu tak tahu ada seseorang yang menunggu kamu? Kamu memang tidak bisa disamakan dengan pria lain. Sorot tajam matamu dalam memandang seseorang, tertawa indah bibirmu, dan senyum manis yang tak sembarang orang dapat membuatmu tersenyum. Mata ku berbinar saat seseorang menyebut nama mu. Aku akan menoleh. Memperhatikanmu secara diam-diam adalah hal yang aku gemari. Aku mengagumi semua itu. Kamu memang pemenang dihatiku. Aku lebih memilih diam daripada menjelaskan perasaanku, karena pasti kamu hanya bisa mendengar tanpa bisa mengerti. Tapi coba rasain deh gimana jadi aku. Ini hati sayang.. Sakit kalau di tarik ulur begini terus. Maaf ini bukan layangan. Mending mainin gitar, bawakan sebuah lagu spesial buat aku. Daripada kamu mainin perasaan cewe mulu? Kasian kan. Setiap HP bergetar selalu berharap itu adalah pesan singkat dari kamu. Iya. Tidak pasti. Bangun pagi, tidak ada lagi ucapan "Selamat Pagi" hanya sapaan mentari pagi. Siang, Sore, hingga langit cerah menjadi gelap malam aku pun masih menunggu. Bahkan disaat aku lelah hingga aku tertidur pulas dan terbawa mimpi. Bayangmu selalu mengikuti setiap langkahku, menuju tempat tujuanku. Dan itu hanya bayang semu! Yasudah. Aku hanya bisa mendoakanmu dari sini. Selamat malam.. Jangan lupa cuci tangan, kaki, selimutmu, berdoa. Semoga mimpi indah. Love You